Sampai pukul 17.27 di Salemba.
Tidak ada kabar darimu yang tertuju kepadaku.
Tetapi, setidaknya, entah mengapa, aku tahu kau akan
baik-baik saja.
Tetapi, setidaknya, entah mengapa, aku tahu aku tidak akan
baik-baik saja.
Cerobohnya aku, yang berharap sebuah kata
Menjelma mata dan mampu menangkap engkau sebagai cahaya
Bodohnya aku, yang berharap rindu
Mampu mencium keningmu yang sudah lembab oleh bibir yang
lain
**
Saat menulis ini, percayalah, aku berusaha membaca
pikiranmu. Tapi aku selalu sadar, pun memiliki engkau adalah kekhawatiran
tersendiri bagi aku dan kau. Apakah perihal aku dan kau yang seorang Jawa mampu
membuat kita menjadi tidak jemawa? Apakah perihal aku dan kau yang lahir pada
bulan hujan mampu membuat kita selalu merindukan sebuah pelukan? Apakah perihal
aku dan kau yang sedang menduakan kekasih mampu membuat kita mencintai tanpa
peduli dengan hidup yang semakin pedih? Apakah perihal aku dan kau yang aku
gambarkan membuat engkau mengerti betapa sungguhnya engkau aku pedulikan?
**
Dalam
sadar, cinta mengutuk dirinya sendiri; menjadi kekosongan. Sebab ia hanya ingin
kau isi.
**
Sejak menggenggam tanganmu. Aku selalu berharap bisa
menggenggam mimpimu. Setidaknya, kita tidur di kasur yang sama sekadar
memandang matamu yang tidak kehilangan cara memandang mataku. Dan aku tidak
akan menolak jawaban dari kau yang menanyakan besok aku ingin sarapan apa
sebelum berangkat kerja. Atau mungkin, aku akan menemanimu tidur larut seperti
yang biasa kau lakukan sampai kini. Dan aku akan tidur lebih dahulu tanpa
melepas peluk yang mengikat di perutmu.
Aku sungguh sedih membayangkan kebahagiaan itu.
Nyatanya, aku fana.
2016
No comments:
Post a Comment